Seuntai Pembelajaran, dari Seorang Rahmawan#1

Bismillahirrahmanirrahim.

Menuliskan tentangmu, tak pernah ada habisnya bagiku. Bahkan semenjak dahulu. Begitu banyak ilmu, yang seringkali tercurah dari dirimu, mungkin bahkan tanpa kau pernah tahu. Mulai dari diskusi-diskusi santai kita di zaman dahulu, selepas rapat organisasi ataupun sepanjang perjalanan di tengah kereta yang melaju. Hingga tanpa aku sadari, tembok kamarku telah penuh dengan post-it post-it kuning dengan sebuah inisial yang sama: A.R. Tak ada pemikiran apapun waktu itu. Tak ada perasaan yang berbeda. Tak ada sebongkah keyakinan, apalagi setitik cinta yang tertanam di dalam jiwa. Dari dulu, menuliskan inisial dari sumber ilmu yang kudapatkan adalah sebuah kebiasaan. Dan motifnya tidak lain dan tidak bukan hanyalah keinginanku untuk mengikat ilmu dan membuatnya meresap ke dalam laku.

Aku begitu mencintai ilmu. Dan sangat enggan kehilangan walau seuntai hikmah dan pembelajaran yang disajikan oleh kehidupan. Maka dengan rajin aku mencatat setiap ilmu, dari siapapun aku mendapatkan hikmah pembelajaran, di berbagai macam buku catatan. Hingga menumpuk tinggi di kamar kosan. Apalagi, selepas berdiskusi denganmu, yang mana aku senantiasa merasa menjadi seorang anak kecil yang menangkapi “bola ilmu” yang berlompatan. Namun, semua ilmu itu hanya dicatat, lalu disimpan. Berteman debu di sudut kamar, tanpa pernah dibuka kembali, apalagi dituliskan kembali dalam seuntai tulisan yang bisa memberikan kebermanfaatan bagi banyak orang.

Jujur saja, dulu aku selalu takut. Takut untuk menuliskannya dan membukanya kepada khalayak ramai, karena aku takut akan sebuah pertanggungjawaban. Pengecut? Bisa jadi. Karena aku tidak ingin menjadi seseorang yang tidak melakukan apa yang aku katakan, sehingga aku akan dimurkai Tuhan. Aku merasa belum apa-apa dan bukan siapa-siapa. Hanya gadis biasa yang belum membuktikan bahwa aku sudah cukup baik untuk menuliskan apa yang aku pikirkan, ataupun ilmu yang aku dapatkan. Begitu takutnya hingga semua gagasan, pemikiran, dan hasil renunganku hanya tersimpan di buku catatan, ataupun di folder-folder file yang jarang kelihatan. Hanya satu yang senantiasa kujaga: mengikat ilmu dengan menuliskannya, meski hanya untuk diri sendiri. Setidaknya, jika suatu saat nanti aku membutuhkannya, bisa dengan cukup mudah kutemukan.

Namun, ada seseorang yang berhasil membuatku membuang ketakutanku untuk menulis dan membagikan pemikiran. Seseorang yang sejak dulu amat kukagumi, bahkan semenjak perjumpaan pertama kali. Jika dulu sekali, tiga tahun yang lalu, seorang ini membuatku terpana dengan lantunannya dalam membaca Al-Quran, maka kemudian, ia membuatku terpesona dengan caranya menyambut kematian. Aku masih ingat betul, ketika itu, di sebuah kawasan perbelanjaan Kota Depok, aku, dia, dan seorang teman perempuan, tengah berdiskusi tentang kepenulisan dan motivasi menulis. Ia berkata seperti ini,

“Coba kalian lakukan ini. Ini adalah tips yang kudapatkan dari seorang rekan yang sangat produktif. Bayangkan, jika jatah hidupmu totalnya ada 20.000 hari, dengan asumsi usia maksimal 60. Berapa banyak hari hidupmu yang sudah terlewati? Coba hitung. Lalu setiap kali hari bertambah, tambahkan satu hari. Atau bisa juga dengan mencoret sebuah tanggal di kalender. Kamu akan menyadari bahwa setiap detikmu yang berlalu, setiap harimu yang terlewati, kamu akan semakin dekat dengan kematian.”

Aku terkesiap mendengarnya. Selama ini aku tahu bahwa kematian memang akan selalu menunggu. Namun aku merasa tidak sadar bahwa ternyata sedemikian cepat hidup bergerak, dan sudah semakin banyak aku membuang-buang waktu. Dan ia pun melanjutkan,

“Dengan menulis, bisa menjadi amal jariyah bagi kalian. Aku menjadi semangat menulis, karena memikirkan bahwa bisa jadi tulisan-tulisan ini yang akan menjadi amalan jariyah dan penyelamatku di alam kubur nanti..”

Aku terdiam. Merasa bahwa selama ini amalan jariyahku masih sedikit sekali. Bahwa sepertinya “bekal kematianku” belum ada apa-apanya. Semenjak saat itu, perlahan-lahan aku mulai memberanikan diri untuk menulis kembali. Membangkitkan kembali cita-cita masa lalu untuk menjadi seorang penulis yang bisa menebarkan kebermanfaatan. Mungkin memang belum banyak, dan belum konsisten. Namun semoga yang sedikit-sedikit ini, setidaknya bisa memberatkan timbangan 🙂

Ah ya, terimakasih banyak, kepada seseorang yang sangat luar biasa. Seseorang yang membuatku senantiasa bersemangat untuk memberikan kebermanfaatan bagi agama, bangsa, dan negara. Seseorang yang mengajariku untuk tidak pernah lelah dan mengeluh dalam perjuangan. Seorang pemimpin terbaik yang pernah kukenal. Dan seseorang yang, dengan karunia Allah, menjadi salah satu hadiah dan anugerah terindah yang dititipkan Allah untuk hadir dalam kehidupanku, My Dearest Kak Arry Rahmawan! Semoga Allah senatiasa memberkahi perjalanan kita dengan CahayaNya.. 🙂

Leave a comment